Sabtu, 08 Desember 2012

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILM INDONESIA



Sampai sekarang tidak ada data otentik yang meyakinkan kapan film pertama kali dibuat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kepustakaan dan dokumentasi mengenai film yang pernah ada di Indonesia sangat kurang.
Masih belum diketahui dengan pasti, film apa yang pertama kali diputar di bioskop Indonesia itu, dan bagaimana bentuk gedung bioskopnya. Sedangkan menurut beberapa sumber, pada tahun 1924 untuk pertama kalinya diputar film China di Indonesia.
Film Indonesia awalnya dibangun oleh para pedagang China yang pada 1930-an merupakan pemilik bioskop, pemodal, dan penonton film. Merekalah yang meletakan dasar perfilman kita, sehingga bisa dimengerti bila sekarang film-film nasional cenderung mengejar sisi komersial dan mengabaikan segi kesenian. Sekadar meniru film yang sedang laris, tanpa perlu bersusah payah memikirkan bagaimana sisi estetikanya.[1]

Menurut sumber yang saya baca Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Kehidupan perfilman Indonesia pada tahun 60-an mengalami kelesuan. Kondisi politik dan ekonomi saat itu sangatlah tidak mendukung produktifitas para pembuat film. Pada periode tersebut tidak hanya film saja yang kehilangan gigi, namun hampir semua bidang seni mengalami kesuraman. Dikarenakan isu-isu politik yang sempat mencekam sehingga kreatifitas paraseniman tidak dapat diaktualisasikan dengan bebas.
Keadaan berubah pada tahun 70-an, angin segar berhembus pada para pembuat film. Pada periode ini para seniman bebas berekspresi, khususnya bagi mereka yang bersentuhan dengan bidang perfilman. Dengan dikeluarkannnya Kep. No. 71 Th. 1971 oleh Menteri Penerangan Budiharjo pada masa itu, maka produktivitas film meningkat pesat. Kebijakan tersebut memperbolehkan para produser untuk meminjam uang sejumlah setengah dari biaya produksi film. Uang tersebut merupakan uang pemerintah yangdidapatkan dari pungutan dari film-film impor. Film-film impor yang masuk Indonesia pada waktu itu diharuskan menyerahkan sumbangan wajib demi perkembangan perfilman nasional.[2]Akibat adanya kebijakan tersebut,disamping meningkatnya produksi perfilman , juga terdapat dampak negatif  pada proses produksi perfilman, seperti kru film yang memiliki tugas yang overlapping,ketika satu orang mengerjakan beberapa tugas yang seharusnyadikerjakan oleh sebuah tim. Namun bagaimanapun juga, film “Bernafas dalamLumpur” produksi Sarinande arahan sutradara Turino Junaidi sukses di pasaran dan menjadi tonggak bangkitnya perfilman Indonesia.[3]
Beberapa nama sutradara potensial yang berusaha membangun kembali citra filmIndonesia pada periode itu, yaitu Wim Umboh, Asrul Sani, Teguh Karya,Syumandjaya, Nico Pelamonia, Ami Priyono, Wahyu Sihombing Arifin C. Noer, dan Nya Abbas Akub.[4]
Di tahun 80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun 70-an menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.
Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun 80-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.
Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun 80-an, kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela. Menginjak tahun ’90-an, film Indonesia mulai mengalami kemerosotan dan akhirnya masyarakat lebih menyukai film buatan luar negeri.[5]
Meski dalam kondisi sekarat, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional. Pertengahan 90-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.
Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.
Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Kebangkitan film Indonesia dimulai pada tahun 2000, beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.
Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King, Garuda di Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.
Banyaknya genre film Indonesia terbaru semakin memudahkan penonton untuk memilih mana film yang akan ditonton. Perkembangan film Indonesia terbaru juga makin bertambah kuantitasnya. Seharusnya, kini para sineas tak hanya boleh memikirkan kuantitas saja, namun juga kualitas. Membuat film-film yang mendidik tentu akan menjadi nilai tambah bagi para penonton mengingat sebagian besar diantara kita meniru apa yang sering ditonton.[6]
Dunia perfilman Indonesia pada sepuluh tahun terakhir ini mulai bangkit kembali dengan ditandai hadirnya film-film baru. Sebelumnya, film-film Indonesia tidak mendapatkan tempat di hati penontonnya, tergilas dengan film-film Hollywood yang masuk ke Indonesia. 
Perfilman Indonesia kini makin gencar mencari tempat di hati penonton negerinya sendiri. Hal ini terbukti dengan meningkatnya produksi film, yaitu meningkatnya frekuensi kemunculan film-film baru. Sekarang tidak jarang di satu studio film kita menyaksikan dua atau tiga film Indonesia diputar dalam waktu yang bersamaan. Pemandangan yang memberikan setitik harapan bagi perkembangan sinema Indonesia sebagai bagian dari ekspresi budaya bangsa.
Selain itu, film-film Indonesia juga mulai mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia dibandingkan film luar negeri. Saat ini hampir 75% film yang yang ditayangkandi sebuah bioskop adalah film Indonesia. Kemudian, minat penonton Indonesia terhadap terhadap film buatan negerinya sendiri juga mengalami peningkatan. Ditambah lagi menjamurnya sineas-sineas Indonesia yang berbakat dan potensial dalam mengemas sebuah cerita ke dalam film sehingga mampu membangkitkan gairah penonton Indonesia untuk menonton film buatan negerinya sendiri.
Pada awalnya mereka, sineas-sineas muda, membuat film-film pendek yang ditayangkan ditelevisi dengan durasi dua jam dikurangi durasi tayangan iklan yang kemudiandisebut sebagai Film Televisi (FTV). Film-film yang mereka buat cukupmengagetkan karena tema yang mereka angka walaupun hanya tema-tema percintaan, entah cinta remaja atau cinta keluarga, dikemas dengan apik.Teknik-teknik pengambilan kamera, penyusunan dialog, pemilihan setting ,dan pemunculan karakter-karekter bisa dibilang sangat baik. Kemudian, perkembangan ini sampai sekarang sudah mulai merambah ke jenjang yanglebih tinggi, yaitu film bioskop.
Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose Purnomo dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi harapan, karena selain terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga, tak terasa bahwa industri perfilman sesungguhnya sudah seratus tahun dikenal di Indonesia.[7]
#bridgingcourse13



[1] JB Kristanto. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta :Kompas  hlm.xiii xiv
[2] Goenawan Mohamad. 1981. Seks, Sastra, Kita. “Film Indonesia: Catatan Tahun 1974” . Jakarta: Sinar Harapan hal 78
[3] Direktorat Publikasi, Direktorat Jenderal PPG, Departemen Penerangan RI. 1991.  Festival Film Indonesia 1985-1990. Jakarta. hal 5
[4] Ibid hal 6
[5] AnneAhira. Film Indonesia, Dulu dan Sekarang. Di unduh pada tanggal 5 Desember 2012 pukul 05.09 am . Diarsipkan di http://www.anneahira.com/film-indonesia.htm 
[6] AnneAhira.2012. Perkembangan Film Indonesia Terbaru. Di unduh pada tanggal 5 desember 2012 Pukul 03.53 am. Diarsipkan di http://www.anneahira.com/film-indonesia-terbaru.htm
[7]  Heru Sutadi. 2009. Sejarah Perkembangan Film Indonesia. Diunggah pada Senin 12 Oktober 2009 pukul 14:18. Diarsipkan di http://herusutadi.blogdetik.com/2009/10/12/sejarah-perkembangan-film-indonesia/  

Sabtu, 01 Desember 2012

LE FABULEUX DESTIN D’ AMELIE POULAIN





            Amélie Poulain (Audrey Tautou) adalah seorang gadis yang menjalani kehidupannya di Perancis dengan tidak banyak bersuara. Sejak kecil dia diagnosa memiliki jantung yang lemah oleh ayahnya yang seorang dokter di kemiliteran. Keter-isoliran Amélie bertambah dengan kematian ibunya yang tragis. Hal ini membuatnya terkurung dan sulit bergaul dengan orang lain.
Dikisahkan setelah menjadi gadis muda, Amélie memutuskan untuk keluar dari rumah dan bekerja sebagai pramusaji. Dari sinilah cerita menakjubkan Amélie dimulai. Bagaimana sebuah kotak tua berisi mainan dan sebuah foto mengubah hidup Amélie untuk selamanya. Saat menemukan kotak tua itu, Amélie memutuskan untuk mengembalikannya pada sang pemilik. Setelah pencarian yang cukup lama akhirnya Amélie menemukan sang pemilik kotak tua. Saat itulah Amélie merasakan perasaan menakjubkan apabila membantu sesama. Sejak itu Amélie membuat sebuah keputusan besar untuk selalu memberikan kebaikan pada orang lain.
Kisah Amelie semakin diramaikan dengan kehadiran Nino (Mathieus Kassovits) seorang pria yang mengalami perlakuan buruk dari temannya sewaktu kecil. Pertanyaannya adalah akankah semua kebaikan Amélie itu mengantarkan Amélie pada kebaikan untuk dirinya sendiri?
Film produksi negeri Perancis karya sutradara Jean-Pierre Jeunet dengan penulis skenerio Jeunet dan Guillaume Laurant ini bergenre komedi romantic dan rilis tahun 2001. Film ini dikemas dengan gaya penceritaan narasi, ada narator (seorang pria) yang menceritakan kehidupan si Amelie yang tumbuh berkembang menjadi pribadi unik, karena masa lalu dan latar belakang keluarganya.
Amélie merupakan gadis yang amat polos yang hanya menginginkan orang lain bahagia karena itu membuatnya bahagia. Dia selalu memberikan apapun untuk menolong orang lain tanpa menunjukan identitasnya. Dari seorang wanita yg menunggu surat dari suaminya selama 40 tahun, seorang pelukis yang selama hidupnya melukis 1 lukisan dan dilakukan berulang2, seorang penjual buah yang selalu dicaci tuannya, seorang yg setiap hari mengumpulkan foto2 yg terjatuh di fotobox, yang penasaran dengan foto seorang pria yang sebenarnya adalah seorang tukang, sampai ayahnya sendiri yang tidak berani keluar rumah.
 Setelah melalukan satu kebaikan Amélie merasakan sebuah kehangatan dan kebahagian jadi dia melakukannya secara berulang-ulang. Tapi setelah bertemu Nino, Amélie merasakan ada debar aneh di jantungnya bukan karena telah membuat kebaikan tapi debar yang berbeda. Dia ingin Nino mengenalnya tapi Amélie sangat pemalu, dari membuat janji temu di Café dan Nino langsung mengenalinya sebagai gadis yang ada di foto tapi Amélie menyangkalnya. Kedatangan Nino sepertinya membuat Amélie sadar akan kebahagiaannya sendiri.
Film yang unik dengan penjabaran cerita yang baik dan wajib ditonton karena syarat nilai berharga tentang pentingnya saling tolong menolong. Gaya narasinya juga cukupunik dengan menceritakan Amélie sejak kecil. Alurnya okelah walaupun agak lama dan membuat kantuk di tengah-tengah menontonnya tapi ceritanya keren. Terkadang anda akan tertawa sendiri ketika melihat khayalan atau imajinasi Amélie yang agakmelantur ini. Konfliknya sederhana tapi mengena. Tapi agak diperhatikan karena film ini tak patut ditonton anak kecil  atau dibawah umur karena ada beberapa adegan yang terlalu dewasa menurut saya. #bridgingcourse12


Sumber :