Sabtu, 24 November 2012

KENTONGAN, ALAT MUSIK YANG BERKOMUNIKASI


            Tema tentang hubungan antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah atau bahasa suku bangsa bukanlah tema yang baru.[1] Maka, karena sudah banyak diperbincangkan jadi akan lebih menarik untuk memilih pokok bahasan lain.
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dengan struktur dan fungsi yang sangat sempurna bila dibandingkan dengan mahluk Tuhan yang lainnya. Manusia juga diciptakan sebagai mahluk multidimensional, memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Di sisi lain, kerena manusia adalah mahluk sosial, maka manusia pada dasarnya tidak mampu hidup sendiri di dalam dunia ini, baik sendiri dalam konteks fisik maupun dalam konteks sosial budaya.[2]
Oleh karena itu, manusia hidup dalam sebuah kesatuan atau dalam sebuah masyarakat dan saling berkomunikasi satu sama lain.
            Diantara masyarakat dalam sebuah komunitas sebetulnya sudah memiliki sistem komunikasi yang entah sadar atau tidak telah berjalan dengan sendirinya, seolah menjadi kesepakatan diantara mereka. Memang kebanyakan mereka melakukan komunikasi secara langsung atau lisan dengan berbagai saluran seperti arisan, pengajian, duduk-duduk di depan rumah dan lainnya mengikuti kebiasaan setempat. Penggunaan berbagai media yang lain masih sangat terbatas.
Dalam masyarakat sekarang yang global dan multikultur, komunikasi antarbudaya adalah hal yang lumrah terjadi. Setidaknya setiap daerah mempunyai cara berkomunikasi yang berbeda-beda. Komunikasi yang efektif diantara masyarakat itu penting adanya supaya menghindarkan dari hari hal-hal yang tidak diinginkan.
Komunikasi merupakan ajang pertemuan bagi hubungan antar pribadi dan pembaharuan teknologi.[3] Tapi tidak hanya teknologi saja yang dapat menjadi alat untuk mempertemukan pribadi dengan pribadi. Alat musik dan segala aktivitas yang berkaitan dengan music telah lama hidup dan berkembang di samping kita jauh sebelum manusia mengenal tulisan. [4] Sebuah alat musik juga bisa digunakan sebagai sebuah ajang pertemuan alias komunikasi di suatu daerah. Sebut saja Kentongan.
Kentongan adalah alat pemukul yang terbuat dari batang bambu atau batang kayu jati yang dipahat. Kentongan sering diidentikkan dengan alat komunikasi zaman dahulu yang sering dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di daerah pedesaan dan pegunungan.[5]
Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan kentongan atau kentung-kentung sebagai bunyi-bunyian yang berasal dari bambu atau kayu berongga, dibunyikan atau dipukul untuk menyatakan tanda waktu atau tanda bahaya atau mengumpulkan massa. Kentongan atau kentungan sehubungan bunyinya “thung, thung (Jawa). Agak mirip dari “Kamus Umum Bahasa Indonesia’’ tersebut, dalam buku “Ensiklopedi Umum” menyebutkan kentongan juga terbuat dari kayu atau bambu dengan panjang yang berbeda-beda. Di tengah-tengah terdapat alur / rongga memanjang. Bila kentongan dipukul dengan tongkat pemukul, udara di dalamnya beresonansi, sehingga memperkuat suara.
Kentongan merupakan alat musik yang berasal dari daerah Banyumas.
Melalui kentongan inilah sebuah komunitas, katakanlah desa bisa menjalin komunikasi dan jaringannya bisa menjangkau seluruh rumah bahkan seluruh orang yang tinggal di desa yang bersangkutan, asalkan orang-orang yang bersangkutan memahami sistem dan perangkat komunikasi ini. [6]
Suatu sumber mengatakan bahwa kentongan sudah ada sejak awal masehi. Kentongan selaku alat komunikasi tradisional juga ikut ambil bagian untuk merayakan kemerdekaaan Indonesia. Kegembiraan ini dilakukan dengan cara memukul kentongan.
Walaupun berbeda dengan Facebook, Twitter, Handphone, televisi dan lain-lain yang merupakan alat komunikasi, Kentongan juga tergolong alat komunikasi peninggalan leluhur yang  mempunyai makna dan lambang sendiri. Makna dan lambing kentongan ini dibedakan menurut irama bunyinya. Sayangnya, irama bunyi kentongan belum memiliki standar yang baku, sehingga setiap daerahnya mempunyai kode dan arti yang tersendiri. Setiap daerah mempunyai irama yang berbeda karena kebudayaan setiap daerah berbeda. Kebudayaan daerah Jawa Tengah yang sifatnya kompleks bersumber dari latar belakang keadaan lingkungan dan proses yang beraneka ragam.[7]
 Walaupun berbeda-beda namun ada juga yang hampir sama, kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan frekuensi irama yang cepat itu diartikan sebagai alarm tanda bahaya. Irama yang demikian itu, di masyarakat Jawa disebut dengan sebutan irama titir. Kentongan berirama titir itu biasanya dipakai untuk memperingatkan masyarakat akan adanya bahaya, seperti ada kejadian kejahatan pencurian, kebakaran, kebanjiran, bencana alam. Namun, ada juga daerah yang membedakan dan memerinci keadaan bahaya itu, dimana irama titir hanya dipakai untuk penanda adanya bencana alam dan kebakaran saja.
Sedangkan jika terjadi peristiwa perampokan maka kentongan dipukul dengan irama empat-empat secara terus menerus. Irama empat-empat itu artinya kentongan dipukul sebanyak empat kali berturut-turut, lalu diselingi jeda sebentar, kemudian dipukul empat kali berturut-turut. Demikian terus berulang-ulang. Sedangkan jika terjadi pencurian maka kentongan dipukul dengan irama tiga-tiga, dan apabila hanya ada orang yang di curigai dengan irama dua-dua.
Lain halnya yang terjadi di masyarakat pedesaan yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Kentongan juga digunakan untuk mengusir hewan-hewan liar yang akan merusak ladang dan sawah serta kebun. Selain itu, kentongan ini juga difungsikan untuk mengumpulkan massa. Orang-orang yang mendengar suara kentongan itu lalu bergegas berkumpul di tempat asal bunyi kentongan itu untuk mendengarkan sebuah berita atau pengumuman.
Di masyarakat pedesaan secara rutin seorang jagabaya (pejabat keamanan desa) akan memukul kentongan pada jam 00.00, untuk mengingatkan warganya bahwa telah larut malam, juga untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi pencurian.
Di surau atau masjid, kentongan ini digunakan sebagai penanda waktu shalat. Berdampingan dengan bedug, kentongan dibunyikan sebelum dikumandangkan azan. [8]
Di gardu ronda masih terdapat kentongan dengan alat pukulnya, Akan tetapi keberadaan alat ini nyaris tidak lagi digunakan (dibunyikan) lagi. Namun salah satu desa di kota Purbalingga kentongan masih cukup sering digunakan. Purbalingga merupakan tanah dataran yang berada di kaki tenggara gunung Slamet (3.428).[9]
Kentongan yang terdapat di desa Karangklesem, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah ini tidak digantung didalam gardu pos tetapi digantung di salah satu rumah warga yang dulu pernah digunakan sebagai Balai Pertemuan Warga Desa dan Balai Desa Karangklesem sendiri. Hanya ukuran saja yang membedakan kedua kentongan ini. Kentongan yang terdapat dib alai Desa Karangklesem jauh lebih besar ketimbang yang berada di salah satu rumah warga yang dijadikan sebagai Balai Pertemuan warga Desa. Kentongan ini digunakan sebagai alat penanda jika akan berlangsung pertemuan seperti arisan, rapat desa dan lain-lain.
Menurut Sulastri (27 oktober 2012: desa Karangklesem RT 03/2 Kutasari Purbalingga pukul 16.12 WIB ) : Kentongan yang ada di Balai Desa Karangklesem sudah ada sejak tahun 1941 saat mbah Wiryodiharjo menjadi Kepala Desa. Kentongan ini dibuat oleh Swardi Eyang Ruslami yang bekerja sebagai tukang kayu. Swardi adalah sebutan untuk orang yang sudah meninggal lama. Kentongannya terbuat dari kayu pohon ketapang yang diambil di pemakaman desa setempat. Dulu Kentongan ini digunakan untuk kumpulan desa, ronda dan jam. Misal kalau sekarang jam 4 berarti mukul 4 kali. Kalau ada bencana kentongan akan dipukul dengan irama titir. Kentongan di desa Karangklesem ini juga dulu digunakan sebagai alat untuk memanggil Pamong atau Perangkat Desa dan kalau akan 17-an.
Adanya perkembangan situasi dan kondisi masyarakat tersebut, tentunya akan menyebabkan pergeseran kebudayaan yang akan berpengaruh pada pola pikir manusia (masyarakat) dalam menerima pewarisan kebudayaan dari pendahulunya.[10] Mendengarkan radio, menonton televisi atau video, ataupun film di gedung bioskop maupun sinepleks. Ataukah sekarang anda sedang membaca surat kabar sore, majalah. Mungkin pula ketika anda dengan kendaraan menuju pusat kota dengan saksama anda memperhatikan papan reklame. Suatu gambaran yang meyakinkan kita bahwa keberadaan komunikasi massa (melalui media massa tentunya) mengelilingi kita semua setiap harinya. [11]
Sebenarnya kentongan yang dianggap ketinggalan jaman ini dulunya merupakan salah satu alat komunikasi paling ampuh yang digunakan oleh masyarakat di pedesaan. Kentongan juga mempunyai nilai historis yang tinggi. Namun sayangnya sekarang kentongan sudah agak jarang digunakan oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Seharusnya Kentongan harus tetap digunakan untuk tetap menghormati apa yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. Sebaiknya kita menjaganya agar tidak diakui oleh negeri lain sebagai budayanya.  
Gunakanlah! Kentongan bisa digunakan untuk hiburan juga atau untuk mengiringi lengger atau ebeg. Di pedesaan Kentongan masih bisa digunakan untuk ajang memberi peringatan. Bahkan di masyarakat perkotaan pun kentongan ini sesungguhnya masih relevan untuk kembali dibudayakan. Paling tidak, dalam konteks untuk kembali membangun early warning system yang murah dan efektif.[12]
Secara teoritis, jelas media massa cetak maupun elektronik sangat dirapkan peran dan kontribusinya dalam pembangunan masyarakat [13] untuk menghidupkan kembali Kentongan, alat musik yang berkomunikasi. #bridgingcourse10



[1] E.K.M. Masinambow dan Paul Haenen. 2002. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.hal.1
[2] Kementrian Sosial. Komunikasi Berketahanan Sosial. Diunggah pada 02 November 2012 pukul 04:12 WIB Diarsipkan di http://www.kemsos.go.id/unduh/Komunikasi_Berketahanan_Sosial.pdf atau http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.kemsos.go.id%2Fmodules.php%3Fname%3DDownloads%26d_op%3Dgetit%26lid%3D95&ei=sCqWUMuwOI3PrQeh14HQCw&usg=AFQjCNEYa4kGptA30oXmttHZhMROO2aS0A&sig2=H3sFmUOS5Fhyvsi7DRotuw . hlm. 1
[3] James Lull (pengantar: Prakitri T. Simbolon). 1998. Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.hlm.ix-x.
[4]    Andri Restiyadi, dkk. 2008. Arkeomusikologi. Medan: Badan Arkeologi Medan.hlm.i
[5] Wikipedia. 2012. Kentongan. Diupdate pada 28 Juli 2012 pukul 05.46. Diarsipkan di http://id.wikipedia.org/wiki/Kentongan
[6] A . Nosarto . 2009. KENTONGAN, ALAT KOMUNIKASI DI MASA LALU. Diupload pada 17 Mar 2009 08:42. Diarsipkan di http://www.tembi.net/id/news/yogyakarta-tempo-doeloe/kentongan--alat-komunikasi-di-masa-lalu-3184.html
[7] Drs. Soeharjono ,dkk. 1977/1978. Pengaruh Migrasi Penduduk terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.hlm.39

[8] Bocahndeso. 2010. Kentongan yang Tersingkirkan. Diupload pada 10 April 2010 pukul 11:03. Diarsipkan di http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/10/kentongan-yang-tersingkirkan-115198.html

[9] Bambang Suswondo. 1977. Geografi Budaya Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.hlm.112
[10] Dra. Hartati Prawironoto, dkk. 1994. Pembinaan Budaya dalam Lingkungan Keluarga Jawa Tengah. Semarang: Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah.hlm.1
[11] Drs.Alo Liliweri, MS. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.hlm.19

[12] Bocahndeso. 2010. Kentongan yang Tersingkirkan. Diupload pada 10 April 2010 pukul 11:03. Diarsipkan di http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/10/kentongan-yang-tersingkirkan-115198.html

[13] Drs. Ambar Adrianto,dkk. 1997. Peranan Media Massa Lokal bagi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah. Yogyakarta: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.hlm.87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment