Tema
tentang hubungan antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah atau bahasa suku
bangsa bukanlah tema yang baru.[1]
Maka, karena sudah banyak diperbincangkan jadi akan lebih menarik untuk memilih
pokok bahasan lain.
Manusia adalah
mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dengan struktur dan fungsi yang sangat
sempurna bila dibandingkan dengan mahluk Tuhan yang lainnya. Manusia juga
diciptakan sebagai mahluk multidimensional, memiliki akal pikiran dan kemampuan
berinteraksi secara personal maupun sosial. Di sisi lain, kerena manusia adalah
mahluk sosial, maka manusia pada dasarnya tidak mampu hidup sendiri di dalam
dunia ini, baik sendiri dalam konteks fisik maupun dalam konteks sosial budaya.[2]
Oleh
karena itu, manusia hidup dalam sebuah kesatuan atau dalam sebuah masyarakat
dan saling berkomunikasi satu sama lain.
Diantara masyarakat dalam sebuah
komunitas sebetulnya sudah memiliki sistem komunikasi yang entah sadar atau
tidak telah berjalan dengan sendirinya, seolah menjadi kesepakatan diantara
mereka. Memang kebanyakan mereka melakukan komunikasi secara langsung atau
lisan dengan berbagai saluran seperti arisan, pengajian, duduk-duduk di depan
rumah dan lainnya mengikuti kebiasaan setempat. Penggunaan berbagai media yang
lain masih sangat terbatas.
Dalam masyarakat
sekarang yang global dan multikultur, komunikasi antarbudaya adalah hal yang
lumrah terjadi. Setidaknya setiap daerah mempunyai cara berkomunikasi yang
berbeda-beda. Komunikasi yang efektif diantara masyarakat itu penting adanya
supaya menghindarkan dari hari hal-hal yang tidak diinginkan.
Komunikasi merupakan
ajang pertemuan bagi hubungan antar pribadi dan pembaharuan teknologi.[3]
Tapi tidak hanya teknologi saja yang dapat menjadi alat untuk mempertemukan
pribadi dengan pribadi. Alat musik dan segala aktivitas yang berkaitan dengan
music telah lama hidup dan berkembang di samping kita jauh sebelum manusia
mengenal tulisan. [4]
Sebuah alat musik juga bisa digunakan sebagai sebuah ajang pertemuan alias
komunikasi di suatu daerah. Sebut saja Kentongan.
Kentongan adalah alat pemukul yang
terbuat dari batang bambu atau batang kayu jati yang dipahat. Kentongan sering diidentikkan dengan alat komunikasi zaman dahulu yang sering dimanfaatkan oleh penduduk yang
tinggal di daerah pedesaan dan pegunungan.[5]
Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan kentongan
atau kentung-kentung sebagai bunyi-bunyian yang berasal dari bambu atau kayu
berongga, dibunyikan atau dipukul untuk menyatakan tanda waktu atau tanda
bahaya atau mengumpulkan massa. Kentongan atau kentungan sehubungan bunyinya
“thung, thung (Jawa). Agak mirip dari “Kamus Umum Bahasa Indonesia’’ tersebut,
dalam buku “Ensiklopedi Umum” menyebutkan kentongan juga terbuat dari kayu atau
bambu dengan panjang yang berbeda-beda. Di tengah-tengah terdapat alur / rongga
memanjang. Bila kentongan dipukul dengan tongkat pemukul, udara di dalamnya
beresonansi, sehingga memperkuat suara.
Kentongan merupakan alat musik yang berasal dari daerah Banyumas.
Melalui
kentongan inilah sebuah komunitas, katakanlah desa bisa menjalin komunikasi dan
jaringannya bisa menjangkau seluruh rumah bahkan seluruh orang yang tinggal di desa
yang bersangkutan, asalkan orang-orang yang bersangkutan memahami sistem dan
perangkat komunikasi ini. [6]
Suatu sumber mengatakan bahwa kentongan sudah ada
sejak awal masehi. Kentongan selaku alat komunikasi tradisional juga ikut ambil
bagian untuk merayakan kemerdekaaan Indonesia. Kegembiraan ini dilakukan dengan
cara memukul kentongan.
Walaupun berbeda dengan
Facebook, Twitter, Handphone, televisi dan lain-lain yang merupakan alat
komunikasi, Kentongan juga tergolong alat komunikasi peninggalan leluhur yang mempunyai makna dan lambang sendiri. Makna dan
lambing kentongan ini dibedakan menurut irama bunyinya. Sayangnya, irama bunyi
kentongan belum memiliki standar yang baku, sehingga setiap daerahnya
mempunyai kode dan arti yang tersendiri. Setiap daerah mempunyai irama yang
berbeda karena kebudayaan setiap daerah berbeda. Kebudayaan daerah Jawa Tengah
yang sifatnya kompleks bersumber dari latar belakang keadaan lingkungan dan
proses yang beraneka ragam.[7]
Walaupun berbeda-beda namun ada juga yang hampir sama,
kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan frekuensi irama yang cepat itu
diartikan sebagai alarm tanda bahaya. Irama yang demikian itu, di masyarakat
Jawa disebut dengan sebutan irama titir. Kentongan berirama titir itu biasanya
dipakai untuk memperingatkan masyarakat akan adanya bahaya, seperti ada
kejadian kejahatan pencurian, kebakaran, kebanjiran, bencana alam. Namun, ada
juga daerah yang membedakan dan memerinci keadaan bahaya itu, dimana irama
titir hanya dipakai untuk penanda adanya bencana alam dan kebakaran saja.
Sedangkan jika terjadi peristiwa perampokan maka kentongan
dipukul dengan irama empat-empat secara terus menerus. Irama empat-empat itu
artinya kentongan dipukul sebanyak empat kali berturut-turut, lalu diselingi
jeda sebentar, kemudian dipukul empat kali berturut-turut. Demikian terus
berulang-ulang. Sedangkan jika terjadi pencurian maka kentongan dipukul dengan
irama tiga-tiga, dan apabila hanya ada orang yang di curigai dengan irama
dua-dua.
Lain halnya yang terjadi di masyarakat pedesaan yang
mayoritas berprofesi sebagai petani. Kentongan juga digunakan untuk mengusir
hewan-hewan liar yang akan merusak ladang dan sawah serta kebun. Selain itu,
kentongan ini juga difungsikan untuk mengumpulkan massa. Orang-orang yang mendengar
suara kentongan itu lalu bergegas berkumpul di tempat asal bunyi kentongan itu
untuk mendengarkan sebuah berita atau pengumuman.
Di masyarakat pedesaan secara rutin seorang jagabaya
(pejabat keamanan desa) akan memukul kentongan pada jam 00.00, untuk mengingatkan
warganya bahwa telah larut malam, juga untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi
pencurian.
Di surau
atau masjid, kentongan ini digunakan sebagai penanda waktu shalat. Berdampingan
dengan bedug, kentongan dibunyikan sebelum dikumandangkan azan. [8]
Di gardu ronda masih terdapat kentongan dengan alat
pukulnya, Akan tetapi keberadaan alat ini nyaris
tidak lagi digunakan (dibunyikan) lagi. Namun salah satu desa di kota
Purbalingga kentongan masih cukup sering digunakan. Purbalingga merupakan tanah
dataran yang berada di kaki tenggara gunung Slamet (3.428).[9]
Kentongan yang terdapat di desa Karangklesem,
Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah ini tidak digantung
didalam gardu pos tetapi digantung di salah satu rumah warga yang dulu pernah
digunakan sebagai Balai Pertemuan Warga Desa dan Balai Desa Karangklesem
sendiri. Hanya ukuran saja yang membedakan kedua kentongan ini. Kentongan yang
terdapat dib alai Desa Karangklesem jauh lebih besar ketimbang yang berada di
salah satu rumah warga yang dijadikan sebagai Balai Pertemuan warga Desa. Kentongan
ini digunakan sebagai alat penanda jika akan berlangsung pertemuan seperti
arisan, rapat desa dan lain-lain.
Menurut Sulastri (27
oktober 2012: desa Karangklesem RT 03/2 Kutasari Purbalingga pukul 16.12 WIB )
: Kentongan yang ada di Balai Desa Karangklesem sudah ada sejak tahun 1941 saat
mbah Wiryodiharjo menjadi Kepala Desa. Kentongan ini dibuat oleh Swardi Eyang
Ruslami yang bekerja sebagai tukang kayu. Swardi adalah sebutan untuk orang
yang sudah meninggal lama. Kentongannya terbuat dari kayu pohon ketapang yang
diambil di pemakaman desa setempat. Dulu Kentongan ini digunakan untuk kumpulan
desa, ronda dan jam. Misal kalau sekarang jam 4 berarti mukul 4 kali. Kalau ada
bencana kentongan akan dipukul dengan irama titir. Kentongan di desa Karangklesem
ini juga dulu digunakan sebagai alat untuk memanggil Pamong atau Perangkat Desa
dan kalau akan 17-an.
Adanya
perkembangan situasi dan kondisi masyarakat tersebut, tentunya akan menyebabkan
pergeseran kebudayaan yang akan berpengaruh pada pola pikir manusia
(masyarakat) dalam menerima pewarisan kebudayaan dari pendahulunya.[10] Mendengarkan
radio, menonton televisi atau video, ataupun film di gedung bioskop maupun
sinepleks. Ataukah sekarang anda sedang membaca surat kabar sore, majalah.
Mungkin pula ketika anda dengan kendaraan menuju pusat kota dengan saksama anda
memperhatikan papan reklame. Suatu gambaran yang meyakinkan kita bahwa
keberadaan komunikasi massa (melalui media massa tentunya) mengelilingi kita
semua setiap harinya. [11]
Sebenarnya kentongan yang dianggap ketinggalan jaman
ini dulunya merupakan salah satu alat komunikasi paling ampuh yang digunakan
oleh masyarakat di pedesaan. Kentongan juga mempunyai nilai historis yang
tinggi. Namun sayangnya sekarang kentongan sudah agak jarang digunakan oleh
masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Seharusnya Kentongan harus tetap
digunakan untuk tetap menghormati apa yang telah ditinggalkan oleh para
leluhur. Sebaiknya kita menjaganya agar tidak diakui oleh negeri lain sebagai
budayanya.
Gunakanlah! Kentongan bisa digunakan untuk hiburan
juga atau untuk mengiringi lengger atau ebeg. Di pedesaan Kentongan masih bisa
digunakan untuk ajang memberi peringatan. Bahkan di masyarakat perkotaan pun
kentongan ini sesungguhnya masih relevan untuk kembali dibudayakan. Paling
tidak, dalam konteks untuk kembali membangun early warning system yang murah
dan efektif.[12]
Secara teoritis, jelas media massa cetak maupun
elektronik sangat dirapkan peran dan kontribusinya dalam pembangunan masyarakat
[13]
untuk menghidupkan kembali Kentongan, alat musik yang berkomunikasi.
#bridgingcourse10
[1]
E.K.M. Masinambow dan Paul
Haenen. 2002. Bahasa Indonesia dan Bahasa
Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.hal.1
[2] Kementrian Sosial. Komunikasi Berketahanan Sosial. Diunggah
pada 02 November 2012 pukul 04:12 WIB Diarsipkan di http://www.kemsos.go.id/unduh/Komunikasi_Berketahanan_Sosial.pdf atau
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.kemsos.go.id%2Fmodules.php%3Fname%3DDownloads%26d_op%3Dgetit%26lid%3D95&ei=sCqWUMuwOI3PrQeh14HQCw&usg=AFQjCNEYa4kGptA30oXmttHZhMROO2aS0A&sig2=H3sFmUOS5Fhyvsi7DRotuw
. hlm. 1
[3] James Lull (pengantar: Prakitri T. Simbolon). 1998. Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.hlm.ix-x.
[4] Andri Restiyadi, dkk. 2008.
Arkeomusikologi. Medan: Badan Arkeologi Medan.hlm.i
[5] Wikipedia. 2012. Kentongan.
Diupdate pada 28 Juli 2012 pukul 05.46. Diarsipkan di http://id.wikipedia.org/wiki/Kentongan
[6] A . Nosarto . 2009. KENTONGAN,
ALAT KOMUNIKASI DI MASA LALU. Diupload pada 17 Mar 2009 08:42. Diarsipkan
di
http://www.tembi.net/id/news/yogyakarta-tempo-doeloe/kentongan--alat-komunikasi-di-masa-lalu-3184.html
[7]
Drs. Soeharjono ,dkk. 1977/1978. Pengaruh
Migrasi Penduduk terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Jawa Tengah.
Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.hlm.39
[8] Bocahndeso. 2010. Kentongan yang Tersingkirkan. Diupload pada 10
April 2010 pukul 11:03. Diarsipkan di http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/10/kentongan-yang-tersingkirkan-115198.html
[9] Bambang Suswondo. 1977. Geografi Budaya Daerah Jawa Tengah.
Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.hlm.112
[10] Dra. Hartati Prawironoto, dkk. 1994.
Pembinaan Budaya dalam Lingkungan
Keluarga Jawa Tengah. Semarang: Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah.hlm.1
[11]
Drs.Alo Liliweri, MS. 1991. Memahami
Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.hlm.19
[12] Bocahndeso. 2010. Kentongan yang Tersingkirkan. Diupload pada 10
April 2010 pukul 11:03. Diarsipkan di
http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/10/kentongan-yang-tersingkirkan-115198.html
[13]
Drs. Ambar Adrianto,dkk. 1997. Peranan
Media Massa Lokal bagi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah.
Yogyakarta: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.hlm.87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment