Sampai sekarang tidak
ada data otentik yang meyakinkan kapan film pertama kali dibuat di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh kepustakaan dan dokumentasi mengenai film yang pernah
ada di Indonesia sangat kurang.
Masih belum diketahui
dengan pasti, film apa yang pertama kali diputar di bioskop Indonesia itu, dan
bagaimana bentuk gedung bioskopnya. Sedangkan menurut beberapa sumber, pada
tahun 1924 untuk pertama kalinya diputar film China di Indonesia.
Film Indonesia
awalnya dibangun oleh para pedagang China yang pada 1930-an merupakan pemilik
bioskop, pemodal, dan penonton film. Merekalah yang meletakan dasar perfilman
kita, sehingga bisa dimengerti bila sekarang film-film nasional cenderung
mengejar sisi komersial dan mengabaikan segi kesenian. Sekadar meniru film yang
sedang laris, tanpa perlu bersusah payah memikirkan bagaimana sisi estetikanya.[1]
Menurut sumber yang
saya baca Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film
lokal berikutnya adalah Eulis Atjih
yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi,
kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java
Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan
Berlumur Darah.
Industri film lokal
sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi
oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung
dengan judul Atma de Vischer. Selama
kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara)
diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada
masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.
Untuk lebih
mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film
Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada
30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil
sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili
Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya
terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat
tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Kehidupan perfilman Indonesia pada tahun 60-an mengalami
kelesuan. Kondisi politik dan ekonomi saat itu sangatlah tidak mendukung
produktifitas para pembuat film. Pada periode tersebut tidak hanya
film saja yang kehilangan gigi, namun hampir semua bidang seni mengalami
kesuraman. Dikarenakan isu-isu politik yang sempat mencekam sehingga
kreatifitas paraseniman tidak dapat diaktualisasikan dengan bebas.
Keadaan berubah pada tahun 70-an, angin segar berhembus pada
para pembuat film. Pada periode ini para seniman bebas berekspresi,
khususnya bagi mereka yang bersentuhan dengan bidang perfilman. Dengan
dikeluarkannnya Kep. No. 71 Th. 1971 oleh Menteri Penerangan Budiharjo
pada masa itu, maka
produktivitas film meningkat pesat. Kebijakan tersebut memperbolehkan para
produser untuk meminjam uang sejumlah setengah dari biaya produksi film.
Uang tersebut merupakan uang pemerintah yangdidapatkan dari pungutan dari
film-film impor. Film-film impor yang masuk Indonesia pada waktu itu
diharuskan menyerahkan sumbangan wajib demi perkembangan perfilman
nasional.[2]Akibat adanya kebijakan
tersebut,disamping meningkatnya produksi perfilman , juga terdapat dampak
negatif pada proses produksi perfilman, seperti kru film yang
memiliki tugas yang overlapping,ketika satu orang mengerjakan beberapa
tugas yang seharusnyadikerjakan oleh sebuah tim. Namun bagaimanapun juga, film
“Bernafas dalamLumpur” produksi Sarinande arahan sutradara Turino Junaidi
sukses di pasaran dan menjadi tonggak bangkitnya perfilman Indonesia.[3]
Beberapa nama sutradara potensial yang berusaha
membangun kembali citra filmIndonesia pada periode itu, yaitu Wim Umboh,
Asrul Sani, Teguh Karya,Syumandjaya, Nico Pelamonia, Ami Priyono, Wahyu
Sihombing Arifin C. Noer, dan Nya Abbas Akub.[4]
Di tahun 80-an,
produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun 70-an menjadi 721 judul film.
Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang
mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi
produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat
sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama
yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan
Si Boy dan Lupus bahkan dibuat
beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai
rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah
film Pengkhianatan G-30S/PKI yang
penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282,
masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.
Kalau di awal munculnya
bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun 80-an ini
bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal
sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser
peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi
dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk
mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.
Hal lain yang juga tak
bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor
dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan
hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film
lokal. Akibatnya, di akhir tahun 80-an, kondisi film nasional semakin parah
dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film
impor dan sinema elektronik serta telenovela. Menginjak tahun ’90-an, film
Indonesia mulai mengalami kemerosotan dan akhirnya masyarakat lebih menyukai
film buatan luar negeri.[5]
Meski dalam kondisi
sekarat, beberapa karya seperti Cinta
dalam Sepotong Roti, Daun di atas
Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di
festival film internasional. Pertengahan 90-an, film-film nasional yang tengah
menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di
televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar
lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD
yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.
Namun di sisi lain,
kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film
Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang
dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit
militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga
film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film
independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga
film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.
Kini, film Indonesia
telah mulai berderak kembali. Kebangkitan film Indonesia dimulai pada tahun
2000, beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak.
Sebut saja, Ada apa dengan Cinta,
yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang
laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta
Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga
Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung
terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor,
begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.
Dengan variasi yang
diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan
motivator bagi masyarakat. Seperti film King,
Garuda di Dadaku, serta Laskar
Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski
bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma,
kini hadir film animasi Meraih Mimpi,
yang direncanakan akan go international.
Banyaknya genre film
Indonesia terbaru semakin memudahkan penonton untuk memilih mana film yang akan
ditonton. Perkembangan film Indonesia terbaru juga makin bertambah
kuantitasnya. Seharusnya, kini para sineas tak hanya boleh memikirkan kuantitas
saja, namun juga kualitas. Membuat film-film yang mendidik tentu akan menjadi
nilai tambah bagi para penonton mengingat sebagian besar diantara kita meniru apa
yang sering ditonton.[6]
Dunia perfilman
Indonesia pada sepuluh tahun terakhir ini mulai bangkit kembali dengan ditandai
hadirnya film-film baru. Sebelumnya, film-film Indonesia tidak mendapatkan tempat di
hati penontonnya, tergilas dengan film-film Hollywood yang masuk ke
Indonesia.
Perfilman Indonesia kini makin gencar mencari
tempat di hati penonton negerinya sendiri. Hal ini terbukti dengan
meningkatnya produksi film, yaitu meningkatnya frekuensi kemunculan
film-film baru. Sekarang tidak jarang di satu studio
film kita menyaksikan dua atau tiga film Indonesia diputar dalam waktu yang
bersamaan. Pemandangan yang memberikan setitik harapan bagi perkembangan sinema
Indonesia sebagai bagian dari ekspresi budaya bangsa.
Selain itu, film-film Indonesia juga mulai
mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia dibandingkan film luar negeri. Saat
ini hampir 75% film yang yang ditayangkandi sebuah bioskop adalah film
Indonesia. Kemudian, minat penonton Indonesia terhadap terhadap film buatan
negerinya sendiri juga mengalami peningkatan. Ditambah lagi menjamurnya
sineas-sineas Indonesia yang berbakat dan potensial dalam mengemas sebuah
cerita ke dalam film sehingga mampu membangkitkan gairah penonton Indonesia
untuk menonton film buatan negerinya sendiri.
Pada awalnya mereka, sineas-sineas muda, membuat film-film
pendek yang ditayangkan ditelevisi dengan durasi dua jam dikurangi durasi
tayangan iklan yang kemudiandisebut sebagai Film Televisi (FTV). Film-film yang
mereka buat cukupmengagetkan karena tema yang mereka angka walaupun hanya
tema-tema percintaan, entah cinta remaja atau cinta keluarga, dikemas
dengan apik.Teknik-teknik pengambilan kamera, penyusunan dialog, pemilihan setting ,dan pemunculan karakter-karekter bisa dibilang sangat baik.
Kemudian, perkembangan ini sampai sekarang sudah mulai merambah ke jenjang
yanglebih tinggi, yaitu film bioskop.
Karya-karya
sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose Purnomo dan
beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film
Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi harapan, karena selain terjadi disaat
bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga, tak terasa bahwa
industri perfilman sesungguhnya sudah seratus tahun dikenal di Indonesia.[7]
#bridgingcourse13
[1]
JB Kristanto. 2004. Nonton Film Nonton
Indonesia. Jakarta :Kompas hlm.xiii
xiv
[2]
Goenawan Mohamad. 1981. Seks, Sastra, Kita. “Film Indonesia: Catatan Tahun
1974” . Jakarta: Sinar
Harapan hal 78
[3]
Direktorat
Publikasi, Direktorat Jenderal PPG, Departemen Penerangan
RI. 1991. Festival Film Indonesia
1985-1990. Jakarta. hal 5
[4] Ibid hal 6
[5]
AnneAhira. Film Indonesia, Dulu dan
Sekarang. Di unduh pada tanggal 5 Desember 2012 pukul 05.09 am . Diarsipkan
di http://www.anneahira.com/film-indonesia.htm
[6]
AnneAhira.2012. Perkembangan Film
Indonesia Terbaru. Di unduh pada tanggal 5 desember 2012 Pukul 03.53 am.
Diarsipkan di http://www.anneahira.com/film-indonesia-terbaru.htm
[7] Heru
Sutadi. 2009. Sejarah Perkembangan Film
Indonesia. Diunggah pada Senin 12 Oktober 2009 pukul 14:18. Diarsipkan di http://herusutadi.blogdetik.com/2009/10/12/sejarah-perkembangan-film-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment